Cerita dibawah aku copy dari Kompas.com. Cerita novel cinta para remaja, yang udah lama, apa kalian pada suka model novel yang begini?
Luka lama kembali menganga. Terbayang lagi di pelupuknya ketika dia dan mamanya bersilaturahmi ke opa-omanya, ternyata disambut dengan semprotan air ledeng oleh gadis kecil itu, bidadari yang kini ada di depannya.
Juga ketika dia berjualan kue-kue di depan sekolah elite itu, lagi-lagi dia ketemu gadis kecil sialan itu. Yang menyuruh kawan-kawan kecilnya memuntahkan kue-kue dagangannya, sehingga sejak itu dia jadi membenci perempuan. Itulah sebabnya maka dia selalu meninggalkan gadis-gadis yang mencintainya, karena di situlah dia bisa merasakan nikmatnya sebuah dendam yang terbalas. Dia sadar, ini memang tidak baik. Tapi anehnya, dia memasabodohkannya dulu.
"Lantas mau apa kemari, heh?!" hardiknya geram. "Mau menghinaku lagi?!" Dia cekal lagi bahu gadis itu.
Rani semakin menjadi tangisnya.
"Ayo, cepat! Aku siap mendengarnya!"
Rani mengerem tangisnya. Napasnya turun-naik, sesak sekali. Sorot matanya kosong. Dia sembunyikan wajahnya. isaknya masih terdengar, penuh penyesalan.
Roy dengan kesal melepaskan cekalannya. Dia sebetulnya tidak tahan mendengar ratapan seperti itu. Dia lalu menendang batu kecil sekuat-kuatnya, hingga terpelanting jauh ke tengah sungai, hanyut dan tenggelam ke dasarnya.
"Setiap hari, aku selalu menanyakan tentang kalian, Roy," masih dengan isaknya.
Roy tengadah ke langit. Bidadari ini memanggil namaku, batinnya. Bidadari ini tampaknya sudah berubah. Sudah berbeda dengan gadis kecil yang dulu aku benci. Dia kini tampak begitu menderita, penuh beban.
Lalu Roy mengambil kayu nisannya. Berjalan tanpa menghiraukan Rani. Dia menuju bukit itu.
Hatinya betul-betul gelisah, karena dipenuhi oleh penderitaan bidadari itu. Ketika sampai di pintu gerbang, Pak Amin menghalangi langkahnya. Dia kuncen di pekuburan keluarga ini.
"Aden, siapa?" Kuncen itu bertanya hormat sekali.
Roy menerobos saja. Dia meronta ketika Pak Amin memegangi tangannya.
"Biar dia masuk, Pak!" Rani berteriak.
Roy tergesa-gesa masuk begitu kuncen itu melepaskan pegangannya. Dia meloncati satu dua kuburan yang menghalangi langkahnya. Hanya satu di benaknya, kuburan papanya!
Dia berhenti di depan sebuah kuburan. Berdiri lurus dengan langit. Menengadah menentang matahari. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi. Kayu nisan yang digenggamnya teracung-acung. Lalu sekuat tenaga dia menancapkannya!
Si bandel bersimpuh. Luruh. Segalanya di luar batas kesadarannya. Kenapa aku mesti ketemu gadis kecil itu lagi? Di tempat seperti ini? batinnya memprotes. Ya, betapa hari-hari itu sangat sulit ditebak apa maunya. Lalu dia merasa seperti tong sampah di pinggir jalan. Tempat orang lewat membuang kejengkelan dan sumpah-serapahnya.
Bijaksanalah, Roy! batinnya yang lain mengingatkan. Rani adalah saudara perempuanmu,
kakakmu. Sekarang jiwanya sedang labil. Sedang guncang. Tegakah kamu, Roy, ketika dia sedang meratapi kepergian kedua orang tuanya, kamu pun ikut-ikutan menggedornya, dengan melemparkannya ke masa lalunya? Ke masa yang tampaknya dia sendiri sangat menyesalinya, Roy!
Sebetulnya apa yang dikatakan Rani bahwa, sepeninggalnya dia selalu menanyakan kabar Roy dan mamanya, itu bukan omong-kosong belaka. Setelah beranjak dewasa, dia selalu mencari tahu kepada papa-mamanya, opa-omanya, Tante Monik, serta Oom Doni, perihal Roy dan mamanya, yang pernah diperlakukannya semena-mena. Sayang usahanya sia-sia. Dan sayang, Roy sendiri tidak menyadari semuanya.
Roy menyeret langkahnya. Dia menghampiri Rani yang sedang bersimpuh di kuburan kedua orang tuanya. Dia merasa ditusuk-tusuk perasaan bersalah, karena ikut mendera jiwanya. Apalagi ketika melihat air mata yang mengalir deras tak ada hentinya pada kelopak matanya.
"Ran," suara Roy tercekat. "Aku menyesal sekali dengan kejadian tadi." Dia menghela napas.
"Aku ikut berdukacita atas kematian Oom Budi dan Tante." Ikut berjongkok di samping Rani, yang masih luruh dengan tangisnya.
Rani meremas-remas tanah merah itu.
"Sudahlah," Roy menyentuh pundaknya. "Tidak ada gunanya kita meratapi orang yang sudah mati. Relakan mereka pergi."
Rani menatapnya. Dia mengusap pipinya yang basah. Sorot matanya berkilat-kilat penuh harapan. "Roy," suaranya masih tertelan isaknya.
"Tabahkan hati kamu," Roy pun mengusap pipinya.
"Jadi..., kamu memaafkan aku, Roy?" dia ragu-ragu.
Roy membimbingnya untuk berdiri. "Kita belum kenalan, ya?" Si bandel mengalihkan suasana. Senyum nakalnya menghias. "Nama kamu, siapa?" Tawa kecilnya terdengar.
Rani tersenyum girang. Rona merah menjalari wajahnya yang tadi pucat. Giginya yang putih berbaris, cemerlang sekali. "Rani," tawanya pun terdengar. "Kamu?" lucu sekali nadanya.
"Roy," si bandel menyebut namanya. Dia merapikan rambut depannya yang jatuh di keningnya. Memandanginya lama-lama. "Kamu cantik sekali, Rani," pujinya. "Beruntung deh, cowok yang bisa jadi pacar kamu," godanya.
Rani tersipu-sipu. Dia memeluk tubuh Roy. "Kamu juga tampan, Roy," bisiknya bahagia. Dia semakin erat memeluknya.
Mereka sama-sama saling menumpahkan kegembiraan, kerinduan, dan kebahagiaan. Mereka seperti baru menemukan kembali sesuatu yang hilang entah ke mana. Menemukan sesuatu yang mereka tunggu dan dambakan sejak lama.
Kita selamanya memang tidak akan bisa hidup dengan kesalahan dan dendam kepada orang lain. Kita membutuhkan rasa kasih sayang, apalagi sebagai sesama saudara. Dan itulah sekarang yang diperoleh kedua makhluk Tuhan itu.
Kita tidak akan pernah bisa melukiskan perasaan orang-orang seperti mereka saat itu. Tidak akan pernah bisa. Tidak akan pernah ada warna-warna cat pelukis mana pun yang bisa dituangkan ke atas kanvas, atau sederet kalimat puitis untuk merangkaikannya. Tidak akan pernah bisa. Kecuali: Tuhan.
Baca yang lain:
No comments:
Post a Comment