Sunday, October 12, 2008

Ambruknya Properti Amerika dan Domino Effect

Cerita dibawah ini merupakan kiriman dari teman:

Meski saya bukan ekonom, banyak pembaca tetap minta saya ''menceritakan''secara awam mengenai hebatnya krisis keuangan di AS saat ini. Sepertijuga, banyak pembaca tetap bertanya tentang sakit liver, meski merekatahu saya bukan dokter. Saya coba:
Semua perusahaan yang sudah go public lebih dituntut untuk terus berkembang di semua sektor. Terutama labanya. Kalau bisa, laba sebuah perusahaan publik terus meningkat sampai 20 persen setiap tahun. Soal caranya bagaimana, itu urusan kiat para CEO dan direkturnya.
Pemilik perusahaan itu (para pemilik saham) biasanya sudah tidak mau tahu lagi apa dan bagaimana perusahaan tersebut dijalankan. Yang merekamau tahu adalah dua hal yang terpenting saja: harga sahamnya harus terusnaik dan labanya harus terus meningkat.
Perusahaan publik di AS biasanya dimiliki ribuan atau ratusan ribu orang, sehingga mereka tidak peduli lagi dengan tetek-bengek perusahaan mereka.

Mengapa mereka menginginkan harga saham harus terus naik? Agar kalau para pemilik saham itu ingin menjual saham, bisa dapat harga lebih tinggi dibanding waktu mereka beli dulu: untung. Mengapa laba juga harus terus naik? Agar, kalau mereka tidak ingin jual saham, setiap tahun mereka bisa dapat pembagian laba (dividen) yang kianbanyak.

Soal cara bagaimana agar keinginan dua hal itu bisa terlaksana denganbaik, terserah pada CEO-nya. Mau pakai cara kucing hitam atau carakucing putih, terserah saja. Sudah ada hukum yang mengawasi cara kerjapara CEO tersebut: hukum perusahaan, hukum pasar modal, hukumpajak, hukum perburuhan, dan seterusnya.

Apakah para CEO yang harus selalu memikirkan dua hal itu merasa tertekan dan stres setiap hari? Bukankah sebuah perusahaan kadang bisa untung, tapi kadang bisa rugi?
Anehnya, para CEO belum tentu merasa terus-menerus diuber target. Tanpa disuruh pun para CEO sendiri memang juga menginginkannya. Mengapa?Pertama, agar dia tidak terancam kehilangan jabatan CEO. Kedua, agar dia mendapat bonus super besar yang biasanya dihitung sekian persen dari labadan pertumbuhan yang dicapai. Gaji dan bonus yang diterima para CEOperusahaan besar di AS bisa 100 kali lebih besar dari gaji PresidenGeorge Bush. Mana bisa dengan gaji sebesar itu masih stres?

Keinginan pemegang saham dan keinginan para CEO dengan demikian seperti "tumbu ketemu tutup:" klop. Maka, semua perusahaan dipaksa untukterus-menerus berkembang dan membesar. Kalau tidak ada jalan, harus dicarikan jalan lain. Kalau jalan lain tidak ditemukan, bikin jalanbaru. Kalau bikin jalan baru ternyata sulit, ambil saja jalannya oranglain. Kalau tidak boleh diambil? Beli! Kalau tidak dijual? Beli dengancara yang licik -dan kasar! Istilah populernya hostile take over.

Kalau masih tidak bisa juga, masih ada jalan aneh: minta politisi untukbikinkan berbagai peraturan yang memungkinkan perusahaan bisa mendapatjalan. Kalau perusahaan terus berkembang, semua orang happy. CEO dan paradirekturnya happy karena dapat bonus yang mencapai Rp 500 miliarsetahun. Para pemilik saham juga happy karena kekayaannya terus naik.Pemerintah happy karena penerimaan pajak yang terus membesar. Politisi happy karena dapat dukungan atau sumber dana.

Dengan gambaran seperti itulah ekonomi AS berkembang pesat dankesejahteraan rakyatnya meningkat. Semua orang lantas mampu membeli kebutuhan hidupnya. Kulkas, TV, mobil, dan rumah laku dengan kerasnya.Semakin banyak yang bisa membeli barang, ekonomi semakin maju lagi.

Karena itu, AS perlu banyak sekali barang. Barang apa saja. Kalau tidakbisa bikin sendiri, datangkan saja dari Tiongkok atau Indonesia ataunegara lainnya. Itulah yang membuat Tiongkok bisa menjual barang apasaja ke AS yang bisa membuat Tiongkok punya cadangan devisa terbesar didunia: USD 2 triliun!

Sudah lebih dari 60 tahun cara ''membesarkan' ' perusahaan seperti itudilakukan di AS dengan suksesnya. Itulah bagian dari ekonomi kapitalis.AS dengan kemakmuran dan kekuatan ekonominya lalu menjadi penguasadunia.

Tapi, itu belum cukup.
Yang makmur harus terus lebih makmur. Punya toilet otomatis dianggaptidak cukup lagi: harus computerized!

Bonus yang sudah amat besar masih kurang besar. Laba yang terusmeningkat harus terus mengejar langit. Ukuran perusahaan yang sudahsebesar gajah harus dibikin lebih jumbo. Langit, gajah, jumbo juga belumcukup.

Ketika semua orang sudah mampu beli rumah, mestinya tidak ada lagi perusahaan yang jual rumah. Tapi, karena perusahaan harus terusmeningkat, dicarilah jalan agar penjualan rumah tetap bisa dilakukan dalam jumlah yang kian banyak. Kalau orangnya sudah punya rumah, harusdiciptakan agar kucing atau anjingnya juga punya rumah. Demikian jugamobilnya.

Tapi, ketika anjingnya pun sudah punya rumah, siapa pula yang akan belirumah?
Kalau tidak ada lagi yang beli rumah, bagaimana perusahaan bisa lebihbesar? Bagaimana perusahaan penjamin bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan alat-alat bangunan bisa lebih besar? Bagaimana bank bisalebih besar? Bagaimana notaris bisa lebih besar? Bagaimana perusahaanpenjual kloset bisa lebih besar? Padahal, doktrinnya, semua perusahaan harus semakin besar?

Ada jalan baru. Pemerintah AS-lah yang membuat jalan baru itu. Pada1980, pemerintah bikin keputusan yang disebut ''Deregulasi KontrolMoneter''. Intinya, dalam hal kredit rumah, perusahaan real estat diperbolehkan menggunakan variabel bunga. Maksudnya: boleh mengenakan bunga tambahan dari bunga yang sudah ditetapkan secara pasti. Peraturan baru itu berlaku dua tahun kemudian.
Inilah peluang besar bagi banyak sektor usaha: realestat, perbankan, asuransi, broker, underwriter, dan seterusnya. Peluang itulah yang dimanfaatkan perbankan secara nyata.

Begini ceritanya:
Sejak sebelum 1925, di AS sudah ada UU Mortgage. Yakni, semacam undang-undang kredit pemilikan rumah (KPR). Semua warga AS, asalkan memenuhi syarat tertentu, bisa mendapat mortgage (anggap saja sepertiKPR, meski tidak sama).

Misalnya, kalau gaji seseorang sudah Rp 100 juta setahun, boleh ambil mortgage untuk beli rumah seharga Rp 250 juta. Cicilan bulanannya ringankarena mortgage itu berjangka 30 tahun dengan bunga 6 persen setahun.

Negara-negara maju, termasuk Singapura, umumnya punya UU Mortgage. Yangterbaru adalah UU Mortgage di Dubai. Sejak itu, penjualan properti diDubai naik 55 persen. UU Mortgage tersebut sangat ketat dalam menetapkansyarat orang yang bisa mendapat mortgage.
Dengan keluarnya ''jalan baru'' pada 1980 itu, terbuka peluang untukmenaikkan bunga. Bisnis yang terkait dengan perumahan kembali hidup.Bank bisa dapat peluang bunga tambahan. Bank menjadi lebih agresif. Jugapara broker dan bisnis lain yang terkait.

Tapi, karena semua orang sudah punya rumah, tetap saja ada hambatan.Maka, ada lagi ''jalan baru'' yang dibuat pemerintah enam tahunkemudian. Yakni, tahun 1986.
Pada 1986 itu, pemerintah menetapkan reformasi pajak. Salah satu isinya:pembeli rumah diberi keringanan pajak. Keringanan itu juga berlaku bagipembelian rumah satu lagi. Artinya, meski sudah punya rumah, kalau maubeli rumah satu lagi, masih bisa dimasukkan dalam fasilitas itu.
Di negara-negara maju, sebuah keringanan pajak mendapat sambutan yangluar biasa. Di sana pajak memang sangat tinggi. Bahkan, seperti di Swedia atau Denmark, gaji seseorang dipajaki sampai 50 persen.Imbalannya, semua keperluan hidup seperti sekolah dan pengobatan gratis.Hari tua juga terjamin.

Dengan adanya fasilitas pajak itu, gairah bisnis rumah meningkat drastismenjelang 1990. Dan terus melejit selama 12 tahun berikutnya. Kredit yang disebut mortgage yang biasanya hanya USD 150 miliar setahun langsung menjadi dua kali lipat pada tahun berikutnya. Tahun-tahun berikutnya terus meningkat lagi. Pada 2004 mencapai hampir USD 700 miliar setahun.
Kata ''mortgage'' berasal dari istilah hukum dalam bahasa Prancis. Artinya: matinya sebuah ikrar. Itu agak berbeda dari kredit rumah. Dalam mortgage, Anda mendapat kredit. Lalu, Anda memiliki rumah. Rumah ituAnda serahkan kepada pihak yang memberi kredit. Anda boleh menempatinya selama cicilan Anda belum lunas.

Karena rumah itu bukan milik Anda, begitu pembayaran mortgage macet,rumah itu otomatis tidak bisa Anda tempati. Sejak awal ada ikrar bahwaitu bukan rumah Anda. Atau belum. Maka, ketika Anda tidak membayarcicilan, ikrar itu dianggap mati. Dengan demikian, Anda harus langsung pergi dari rumah tersebut.

Lalu, apa hubungannya dengan bangkrutnya investment banking sepertiLehman Brothers?
Gairah bisnis rumah yang luar biasa pada 1990-2004 itu bukan hanyakarena fasilitas pajak tersebut. Fasilitas itu telah dilihat oleh ''parapelaku bisnis keuangan'' sebagai peluang untuk membesarkan perusahaandan meningkatkan laba.

Warga terus dirangsang dengan berbagai iklan dan berbagai fasilitas mortgage. Jor-joran memberi kredit bertemu dengan jor-joran membeli rumah. Harga rumah dan tanah naik terus melebihi bunga bank.

Akibatnya, yang pintar bukan hanya orang-orang bank, tapi juga parapemilik rumah. Yang rumahnya sudah lunas, di-mortgage- kan lagi untuk membeli rumah berikutnya. Yang belum memenuhi syarat beli rumah pun bisamen dapatkan kredit dengan harapan toh harga rumahnya terus naik. Kalau toh suatu saat ada yang tidak bisa bayar, bank masih untung.Jadi, tidak ada kata takut dalam memberi kredit rumah. Tapi, bank tentupunya batasan yang ketat sebagaimana diatur dalam undang-undangperbankan yang keras.

Sekali lagi, bagi orang bisnis, selalu ada jalan.
Jalan baru itu adalah ini: bank bisa bekerja sama dengan ''bank jenislain'' yang disebut investment banking.

Apakah investment banking itu bank?
Bukan. Ia perusahaan keuangan yang ''hanya mirip'' bank. Ia lebih bebasdaripada bank. Ia tidak terikat peraturan bank. Bisa berbuat banyak hal: menerima macam-macam ''deposito'' dari para pemilik uang, meminjamkan uang, meminjam uang, membeli perusahaan, membeli saham, menjadi penjamin, membeli rumah, menjual rumah, private placeman, danapa pun yang orang bisa lakukan. Bahkan, bisa melakukan apa yang orangtidak pernah memikirkan! Lehman Brothers, Bear Stern, dan banyak lagiadalah jenis investment banking itu.

Dengan kebebasannya tersebut, ia bisa lebih agresif. Bisa memberi pinjaman tanpa ketentuan pembatasan apa pun. Bisa membeli perusahaan dan menjualnya kapan saja. Kalau uangnya tidak cukup, ia bisa pinjam kepadasiapa saja: kepada bank lain atau kepada sesama investment banking.

Atau, juga kepada orang-orang kaya yang punya banyak uang dengan istilah''personal banking''.
Saya sering kedatangan orang dari investment banking seperti itu yangmenawarkan banyak fasilitas. Kalau saya mau menempatkan dana di sana, saya dapat bunga lebih baik dengan hitungan yang rumit. Biasanya sayatidak sanggup mengikuti hitung-hitungan yang canggih itu.
Saya orang yang berpikiran sederhana. Biasanya tamu-tamu seperti itusaya serahkan ke Dirut Jawa Pos Wenny Ratna Dewi. Yang kalau menghitungangka lebih cepat dari kalkulator. Kini saya tahu, pada dasarnya diatidak menawarkan fasilitas, tapi cari pinjaman untuk memutarcash-flow.
Begitu agresifnya para investment banking itu, sehingga kalau dulu hanyaorang yang memenuhi syarat (prime) yang bisa dapat mortgage, yang kurangmemenuhi syarat pun (sub-prime) dirangsang untuk minta mortgage.

Di AS, setiap orang punya rating. Tinggi rendahnya rating ditentukan oleh besar kecilnya penghasilan dan boros-tidaknya gaya hidup seseorang.Orang yang disebut prime adalah yang ratingnya 600 ke atas. Setiap tahunorang bisa memperkirakan sendiri, ratingnya naik atau turun.

Kalau sudah mencapai 600, dia sudah boleh bercita-cita punya rumah lewatmortgage. Kalau belum 600, dia harus berusaha mencapai 600. Bisa denganterus bekerja keras agar gajinya naik atau terus melakukan penghematanpengeluaran.

Tapi, karena perusahaan harus semakin besar dan laba harus kian tinggi,pasar pun digelembungkan. Orang yang ratingnya baru 500 sudah ditawari mortgage. Toh kalau gagal bayar, rumah itu bisa disita. Setelah disita, bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi dari nilai pinjaman. Tidak pernah dipikirkan jangka panjangnya.

Jangka panjang itu ternyata tidak terlalu panjang. Dalam waktu kurangdari 10 tahun, kegagalan bayar mortgage langsung melejit. Rumah yang disita sangat banyak. Rumah yang dijual kian bertambah. Kian banyak orang yang jual rumah, kian turun harganya. Kian turun harga, berartinilai jaminan rumah itu kian tidak cocok dengan nilai pinjaman. Ituberarti kian banyak yang gagal bayar.

Bank atau investment banking yang memberi pinjaman telah pula menjaminkan rumah-rumah itu kepada bank atau investment banking yanglain. Yang lain itu menjaminkan ke yang lain lagi. Yang lain lagi itu menjaminkan ke yang beriktunya lagi. Satu ambruk, membuat yang lain ambruk. Seperti kartu domino yang didirikan berjajar. Satu robohmenimpa kartu lain. Roboh semua.

Berapa ratus ribu atau juta rumah yang termasuk dalam mortgage itu? Belum ada data. Yang ada baru nilai uangnya. Kira-kira mencapai5.000.000.000.000 (triliun) dolar*_ . Jadi, kalau Presiden Bush merencanakan menyuntik dana APBN USD 700 miliar, memang perludi pertanyakan: kalau ternyata dana itu tidak menyelesaikan masalah, apaharus menambah USD 700 miliar lagi? Lalu, USD 700 miliar lagi?_

Itulah yang ditanyakan anggota DPR AS sekarang, sehingga belum maumenyetujui rencana pemerintah tersebut. Padahal, jumlah suntikan sebanyak USD 700 miliar itu sudah sama dengan pendapatan seluruh bangsa dan negara Indonesia dijadikan satu.

Jadi, kita masih harus menunggu apa yang akan dilakukan pemerintah danrakyat AS. Kita juga masih menunggu data berapa banyak perusahaan danorang Indonesia yang ''menabung'' -kan uangnya di lembaga-lembagainvestment banking yang kini lagi pada kesulitan itu.

Sebesar tabungan itulah Indonesia akan terseret ke dalamnya. Rasanya tidak banyak, sehingga pengaruhnya tidak akan sebesar pengaruhnya pada Singapura, Hongkong, atau Tiongkok.
Singapura dan Hongkong terpengaruh besar karena dua negara itu menjadi salah satu pusat beroperasinya raksasa-raksasa keuangan dunia. SedangkanTiongkok akan terpengaruh karena daya beli rakyat AS akan sangat menurun, yang berarti banyak barang buatan Tiongkok yang tidak bisa dikirim secara besar-besaran ke sana. Kita, setidaknya, masih bisa menanam jagung.(*)

No comments: