Sunday, September 14, 2008

Hukuman Mati Penyelundupan Narkoba

Maunya sih menegakkan hukuman mati demi keadilan, itulah ungkapan negara tetangga kita Australia mengenai kasus bom bali, tetapi coba setelah terkena kasus yang lain tentang penyelundupan Narkoba ke Indonesia dan warganya tertangkap, mentri luar Negri Australia sendiri memohon untuk membatalkan hukuman mati bagi warga negara Australia untuk kasus narkoba. Sungguh memalukan, wong manusia bobrok yang jelas tidak akan ada yang membela bagi kasus narkoba di Dunia ini apalagi merusak moral anak anak dengan cara sembunyi sembunyi, itulah Narkoba. Coba simak cuplikan selanjutnya:


Senin 11 Agustus 2008, Stephen Smith, Menteri Luar Negeri Australia, menjumpai Menteri Luar Negeri Hasan Wirayudha di Jakarta. Salah satu tujuannya adalah melobi pemerintah Indonesia untuk memberikan pengampunan (clemency) terhadap tiga terpidana mati warga negara Australia yang tersangkut kasus Narkoba di Bali pada tahun 2005 yang terkenal dengan julukan The Bali Nine.

Uniknya dalam kesempatan yang sama Menlu Australia tersebut tidak membahas sama sekali perihal hukuman mati terhadap tiga terpidana mati bom Bali (Amrozi, Imam Samudera dan Mukhlas) yang kini tengah menanti eksekusi mati setelah pelbagai upaya hukum mentok. Alias, pemerintah Australia seperti rela Amrozi cs harus dieksekusi mati.

Dalam wawancaranya dengan Sydney Morning Herald (10/8-08) Smith mengatakan bahwa ketika warga Australia di luar negeri dihukum karena melakukan kejahatan kemudian dipidana mati, maka kami akan melakukan upaya representasi atas nama warga negera Australia. Namun, ketika hukuman tersebut dijatuhkan kepada non warga Australia, maka kami akan melakukan penilaian secara kasuistik, lalu akan menentukan apakah akan melakukan representasi secara sendirian atau bergabung dengan negara-negara lain di level regional ataupun multilateral.

Menilik sikap tersebut, cukup jelas bahwa pemerintah Australia, melalui Menlu-nya, menunjukkan sikap diskriminatif dan standar ganda dalam memandang hukuman mati. Mengapa harus membeda-bedakan antara warga atau non warga Australia ketika berbicara tentang hukuman mati?

The Bali Nine dan Schapelle Corby

Masih ingat kasus the Bali Nine? sembilan orang penyelundup Narkoba (heroin) seberat 8.3. kg dan seharga Empat Juta Dollar Australia yang ditangkap di Denpasar, Bali pada 17 April 2005. Mereka menjadikan Bali sebagai tempat transit sebelum bertolak ke Australia. Empat orang
ditangkap di bandara, satu di dalam pesawat, empat lagi di dalam sebuah bungalow di Bali. Mereka berusia amat muda, 18 hingga 28 tahun, masing-masing adalah Andrew Chan, Myuran Sukumaran, Scott Rush, Marthin Stephens, Matthew Norman, Michael Czugaj, Si Ye Chen, Tach Duc Thanh Nguyen, dan Renae Lawrence.

Pengadilan Negeri Denpasar, Pengadilan Tinggi Bali dan Mahkamah Agung mengganjar hukuman sembilan orang ini secara bervariasi. Semula di tingkat pengadilan negeri dua orang (Andrew Chan dan Myuran Sukumaran) dijatuhi hukuman mati dan tujuh lainnya dijatuhi hukuman seumur hidup. Belakangan di tingkat banding dan kasasi hukuman berubah menjadi satu orang lagi dijatuhi hukuman mati (Scott Rush), dua tetap dihukum seumur hidup, dan empat lagi dikurangi hukumannya menjadi dua puluh tahun penjara.

Dan untuk itulah Menlu Australia Stephen Smith datang ke Jakarta. Guna melobby pemerintah RI via Menlu Hasan Wirayudha untuk tidak mengeksekusi mati ketiga terpidana mati tersebut.

Inkonsistensi Bom Bali dan Bali Nine

Satu adagium utama dalam ilmu hukum adalah setiap orang bersamaan kedudukannya dalam hukum (equality before the law) dan keadilan (justice) adalah tujuan utama dari hukum. Keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu, tanpa melihat suku, agama, ras, gender, status sosial dan ekonomi, kelompok politik dan afiliasi tertentu. Persis seperti ungkapan populer yang pernah disampaikan Rasulullah Muhammad SAW : "Sekiranya Fathimah binti Muhammad SAW mencuri maka aku sendiri yang memotong tangannya".

Negeri Australia telah menghapuskan hukuman mati dalam sistem hukum pidana di negerinya. Keikutsertaan mereka dalam berbagai konvensi HAM Internasional dan pandangan mereka bahwa hukuman mati bertentangan dengan kemanusiaan membuat mereka menolak hukuman mati. Suatu pandangan yang sah-sah saja dan harus dihargai. Namun, ketika Australia memandang secara berbeda hukuman mati terhadap Bali Nine dan terhadap tiga terpidana mati kasus Bom Bali (Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudera) yang turut menewaskan 88 warga negara Australia, tentunya ini adalah sikap yang tidak adil, ambivalen, dan diskriminatif

Hal ini terjadi juga dalam kasus Saddam Hussein. Hukuman mati telah dihapuskan di sebagian negara bagian di Amerika Serikat (AS) dan juga di seluruh negara anggota Uni Eropa. Namun toh Amerika Serikat dan Uni Eropa bersikap pasif ketika Saddam dieksekusi mati awal tahun 2007 silam. Padahal. Penangkapan dan pengadilan Saddam berlangsung karena peran AS dan sekutunya. Terlepas bahwa Saddam Hussein memang layak dijatuhi hukuman mati, sejatinya amat mudah bagi AS dan sekutu untuk mencegah hukuman mati terhadap Saddam. Sama mudahnya bagi mereka untuk mengubah hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup. Apabila mereka menghendaki, sedari awal pengadilan terhadap Saddam dapat dengan mudah diintervensi.

Selama ini AS dan negara-negara Eropa Barat adalah promotor utama rezim hak asasi manusia internasional (international human rights law). Deklarasi HAM Universal 1948 dan ratusan konvensi hukum internasional lainnya dilahirkan dan dipromosikan oleh AS dan negara-negara Eropa Barat.

Termasuk tentang penghapusan hukuman mati. Instrumen regional tentang HAM di Amerika maupun Eropa, seperti tersebut di atas, telah menghapuskan hukuman mati. Mereka mempromosikan penghapusan hukuman mati karena berpotensi melanggar hak hidup, hak manusia yang paling asasi. Namun, di sisi lain, mereka membiarkan pengadilan Irak mengeksekusi mati Saddam Hussein.

No comments: